Senin, 21 Desember 2015
Membebaskan Diri dari Belenggu Mitos
Berdasarkan perkuliahan Filsafat Pendidikan Matematika
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Waktu : 21 Oktober 2015
Prodi : Pendidikan Matematika S1 UNY
Pembelajaran dimulai
dengan tanya jawab. Setelah tanya jawab dibuka sesi tanya jawab untuk
menanyakan hal-hal yang ingin dipelajari. Pertanyaan pertama disampaikan oleh
saudara Tangguh Yudho P: “Bahwasanya
peserta didik yang mengalami kesulitan belajar adalah peserta didik yang
terkendala dalam menembus ruang dan waktu. Secara filsafat bagaimana prosedur belajar tersebut?”
Secara filsafat, ketika peserta didik salah dalam menjawab,
maka salahnya itu juga berarti benar. Hal tersebut ada alirannya, yaitu
falibisme. Aliran falibisme mengungkapkan bahwa sesuatu tidak mutlak benar dan
bisa salah. Aliran tersebut dapat membela kawula muda dari kesemena-menaan
orangtua. Misalnya, siswa SD mendapatkan nilai nol pada tes yang dilakukan oleh
gurunya. Hal tersebut bernilai benar, karena siswa SD belum diberi pengalaman
belajar oleh gurunya. Sehingga salahnya siswa menjawab itu bernilai benar.
Itulah filsafat, dan orang awam tidak mengerti mengenai aliran tersebut. Salah
bernilai benar itu merupakan salah satu metafisik, yang tersembunyi. Semua aliran
filsafat memiliki tokohnya masing-masing. Dengan kata lain, sembunyi dibalik kalimat, penampakan,
atau bahkan dibalik kepribadian seseorang. Dalam jiwa terdapat sifat metafisik, dimana
terkadang dibalik tawa
seseorang yang mendapatkan nilai nol tersembunyi perasaan sedih.
Sepandai-pandai orang berfilsafat adalah yang mudah dipahami
oleh orang awam. Sama halnya dalam pendidikan matematika. Orang yang mengerti dan memahami matematika tetapi ia
kesulitan untuk menyampaikannya kepada orang lain, maka sama saja jika ia tidak
mengerti matematika. Maka melalui elegi-elegi yang dibuat oleh Prof. Marsigit, Beliau mengenalkan
filsafat dengan metode yang mudah dipahami oleh orang awam. Dengan membaca
elegi-elegi tersebut, secara tidak langsung kita dapat dikatakan telah
berfilsafat. Maka dalam filsafat tidak mengenal kegagalan, karena gagal adalah
istilah psikologi. Dalam filsafat,
gagal diartikan sebagai segala sesuatu yang tidak sesuai dengan ruang dan
waktu. Segala sesuatunya harus disesuaikan dengan ruang dan waktu. Misalnya 4 x
6 adalah Rp50.000,00. Jika pembeicaraan berlangsung di studio foto, maka itu bernilai benar. Maka berfilsafat
itu peduli akan ruang dan waktu, benarnya berdasar ruang dan waktu. Orang yang sukses adalah yang
berhasil menembus ruang dan waktu. Sukses A berarti sukses menembus ruang dan
waktunya A, beserta komponennya. Namun janganlah khawatir. Binatang, tumbuh-tumbuhan,
bahkan batu pun menembus ruang dan waktu. “Tadi pagi batu tersebut kehijauan,
kalau sore kemerah-merahan.” Kalimat tersebut menunjukkan dimensi ruang. Manusia
berdiam diri pun tetap menembus ruang dan batu, namun seperti batu.
Manusia yang berbudaya dan berpendidikan tentu menembus
ruang dan waktunya masing-masing, Itulah yang dipelajari dalam filsafat.
Misalnya “statistik” itu “data”,
tetapi jika di sekolah “statistik” menjadi “siswa”. Apabila dinaikkan ke konteks filsafat, maka “statistik” itu berarti yang “ada”.
Jika dinaikkan lagi ke
dalam konteks spiritual, “statistik” berarti ciptaan Tuhan. Sama halnya dengan
mengajar di perguruan tinggi dan di SD itu berbeda. Mestinya tidak
boleh dilakukan mengajar definisi di SD. Jauh dekat itu matematika, namun tidak
memerlukan definisi. Peduli ruang dan waktu adaah kunci pembelajaran. Perilaku
adalah suatu aksioma yang dapat diikuti oleh pembelajar, misalnya adik kita
sendiri. Keilmuan yang valid adalah logis dan dipercaya. Spiritualya valid
adalah ayat-ayat ssuci firman Tuhan YME.
Belajar
filsafat harus sopan dan santun kepada filsafat. Untuk sopan dan santun harus
mengerti dan belajar. Masing-masing adat memiliki kesopanan yang berbeda.
Kepada orang tua juga harus sopan dan santun. Belajar berfilsafat harus
dilandasi dengan kesadaran. Kesadaran akan posisinya dimana ia berada.
Pertanyaan kedua disampaikan oleh saudara Anwar Rifa’i, “Bagaimana cara paling efektif untuk
belajar filsafat?”. Menanggapi
pertanyaan tersebut, Prof.
Marsigit menjelaskan
bahwa efektif berarti mengandung unsur memaksa. Jika seseorang mau belajar makan
bisa pandai, jika tidak mau belajar makan jadi bodoh. Dengan tanya jawab,
mahasiswa dapat menyadari banyak hal yang belum dipikirkan. Jadi pembelajar, janganlah pesimis dan over optimis
dalam menghadapi setiap keadaan. Tidak ada cara yang paling baik untuk
mendidik dari sisi dunia, namun dalam segi agama cara terbaik adalah mengikuti
ajaran agama. Cara terbaik adalah berbagai cara dan bervariasi dan dapat
memfasilitasi siswa untuk belajar dimanapun dan kapanpun.
Berfilsafat
adalah membebaskan diri dari belenggu mitos-mitos. Belenggu mitos berbahaya
bagi diri sendiri. Oleh sebab itu, mulailah berfilsafat dengan membaca membaca
membaca dengan ikhlas.
- Label: Filsafat, Matematika, Materi Kuliah, Pendidikan, Refleksi
- (0) Comments
Label:
Filsafat,
Matematika,
Materi Kuliah,
Pendidikan,
Refleksi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar